Pengertian dan hukum dari tahlilan.
Tahlilan
adalah acara ritual (serimonial) memperingati hari kematian yang biasa
dilaku-kan oleh umumnya masyarakat Indone-sia. Acara tersebut
diselenggarakan keti-ka salah seorang dari anggota keluarga telah
meninggal dunia. Secara bersama-sama, setelah proses penguburan selesai
dilakukan, seluruh keluarga, handai tau-lan, serta masyarakat sekitar
berkumpul di rumah keluarga mayit hendak menye-lenggarakan acara
pembacaan beberapa ayat al Qur’an, dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan
untuk mayit di “alam sana” karena dari sekian materi bacaannya
ter-dapat kalimat tahlil ( لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ) yang diulang-ulang (ratusan kali), maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Pada saat itu pula, keluarga mayit menghidangkan makanan serta minuman untuk menjamu orang-orang yang se-dang berkumpul di rumahnya tersebut.
Biasanya acara seperti itu terus berlang-sung setiap hari dari hari
pertama hingga hari ketujuh, kemudian dilanjutkan pada hari ke-40, hari
ke-100, hingga mengin-jak tempo setahun serta tiga tahun dari waktu
kematian, dengan hidangan yang disajikan disetiap acaranya biasanya akan
lebih istimewa, dengan model hidangan yang berbeda-beda sesuai dengan
adat kebiasaan yang biasa berjalan di tempat tersebut. Sehingga secara
sepintas acara tersebut
layaknya sebuah pesta kecil-kecilan belaka, bahkan tidak jarang muncul
senda gurau dan gelak tawa di dalam acara tersebut. Sehingga akhirnya
muncul opini publik yang memberikan kesimpulan bahwa acara tersebut
adalah merupakan salah satu bagian dari ciri khas penganut mazhab
Syafi’i.
Dalil pembolehan perjamuan tahli-lan
Orang yang membolehkan acara per-jamuan tahlilan mempunyai dua argumen yaitu argumen naqli (nash) dan argumen ‘aqli (akal).
Adapun argumen naqli, mereka berdalil-kan keterangan dari kitab Hasyiyah ‘ala Maraqy al Falah karangan Ahmad ibn Ismail Ath Thahawy, yaitu (yang artinya):
“Dimakruhkannya
hukum penghidangan makanan oleh keluarga mayit, bertenta-ngan dengan
keterangan yang diriwayat-kan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih dari Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari laki-laki Anshar, ia berkata :
))خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ r فِي جَنَازَةٍ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَتِهِ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ وَ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا وَرَسُولَ اللهِ r يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ((رواه أبو داود و أحمد
“Kami bersama Rasulullah r keluar menuju pemakaman janazah, sewaktu hendak pulang muncullah isterinya mayit, mengundang untuk singgah,
kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah pun mengambil makanan
tersebut dan kemu-dian para shahabat turut mengambil pula dan
mencicipinya dan pada mulut Rasulullah r terdapat sekerat daging”.
Hadits
tersebut menunjukkan bahwa diperbolehkan keluarga mayit menghi-dangkan
makanan, berikut mengundang masyarakat terhadap hidangan tersebut”.
Landasan
lain yang digunakan seba-gai alat justifikasi oleh pihak yang
mene-rima acara tersebut adalah melalui argumen ‘aqly (akal) yaitu
tepatnya me-lalui istihsan (menganggap sesuatu itu baik berdasarkan logika)
Bantahan
Ahmad ibn Ismail Ath Thahawy menggunakan dalil naqli
yang dilansir dari Sunan Abi Daud, namun apabila kita bandingkan
dengan hadits yang sama dari kitab asalnya (Sunan Abi Daud dan Musnad
Imam Ahmad) mempunyai per-bedaan yang sangat signifikan dibanding-kan
dengan hadits aslinya.
Berikut adalah hadits yang asli dari Abu Daud dalam kitabnya Sunan Abi Daud :
))خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ r فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ r
وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ
رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ
دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ r يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ((رواه أبو داود و أحمد
“Kami bersama Rasulullah r keluar menuju pemakaman janazah, maka aku melihat Rasulullah r
di atas kuburan sedang beliau mengajarkan kepada orang yang
menguburkan mayit tersebut: "Lapangkan di kedua bagian kakinya
(mayit),lapangkanlah di bagian kepala-nya, maka sewaktu hendak pulang
mun-cullah seorang wanita, mengundang untuk singgah, kemudian ia menghidangkan ma-kanan. Rasulullah r
pun mengambil makanan tersebut dan kemudian para shahabat turut
mengambil pula dan mencicipinya, dan bapak-bapak kami melihat pada mulut
Rasulullah r sekerat daging”.
Perbedaannya adalah, dalam versi Ath Thawa
wy lafadz hadits diberi dhamir mudzakkar ghaib (امْرَأَتِهِ)
yang mengan-dung arti “isterinya si mayit” sedangkan dalam aslinya
atau dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ahmad,
lafadz tersebut adalah tanpa diberi dhamir mudzakkar ghaib (امْرَأَةٍ ) yang artinya “seorang wanita”
Sisi pentingnya adalah ketika lafazah tersebut diberi dhamir mudzakkar ghaib (امْرَأَتِهِ) maka pengertiannya adalah wanita yang memanggil Rasulullah r beserta para shahabat sepulang dari penguburan jenazah, kemudian menghidangkan ma-kanan yang dicicipi oleh Rasulullah r beserta para shahabatnya, adalah isteri-nya mayit (keluarga mayit). Dan karena Rasulullah r mencicipi hidangan terse-but, maka mengadung arti sunnah (taqri-riah)
terhadap proses penghidangan ma-kanan oleh keluarga mayit, sekaligus
undangan serta mencicipi hidangnya. Implikasi hukumnya adalah acara
perja-muan tahlilan adalah merupakan bagian dari sunnah rasul
Tetapi lain halnya apabila lafazh tersebut tanpa diberi dhamir Mudzakkar Ghaib (امْرَأَةٍ).
Maka pengertiannya adalah wanita tersebut tidak ada sangkut pautnya
dengan mayit tersebut (bukan keluarga mayit). Bahkan di dalam hadits
yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dinyatakan dengan jelas
bahwa wanita tersebut adalah orang Quraisy yang hadir pada proses
pemakaman.
Dengan kata lain, hidangan yang sem-pat dicicipi oleh Rasulullah r berserta shahabatnya w
adalah hidangan yang disajikan bukan oleh keluarga mayit, me-lainkan
oleh pihak lain. Apabila demikian, maka sejatinya hadits tersebut tidak
ada hubungannya dengan permasalahan aca-ra perjamuan tahlilan. Sebagai
konse-kuensinya adalah batal-lah argumen yang menerima acara tersebut.
Dan adapun argumen mereka de-ngan berargumen ‘aqliy model istihsan.
Maka hal ini merupakan alasan yang ti-dak dapat dibenarkan,
sebagaimana yang di jelaskan dalam kitab Ushul Al fiqh Syafi’iyyah
dikatakan bawa istihsan yang diartikan dengan berpindahnya hukum dari
ketentuan dalil (Al Qur’an dan As Sunnah) kepada ketentuan kultur
adalah ditolak. bahkan lebih tegas Imam Syafi’i menyatakan bahwa
barangsiapa menga-malkan istihsan maka berarti dia telah menciptakan
hukum sendiri.
Maka
sungguh tidak masuk akal apa-bila terdapat orang yang mengaku
ber-madzhab Syafi’i, tetapi masih suka me-laksanakan acara perjamuan
tahlilan.
Tahlilan dalam pandangan Islam
Acara perjamuan tahlilan merupakan hal yang diada-dakan di dalam agama. Hal ini berdasarkan dalil naqli dan ‘aqli.
Adapun dalil naqli adalah hadits mauquf (atsar) yang shohih dari shahabat Jarir bin Abdullah t beliau berkata :
))كُنَّا نَرَى الإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ ((رواه ابن ماجه
“Kami
(para shahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit,
serta menghidangkan makanan merupakan bagian dari niyahah (mera-tapi
mayat)” (R. Ibnu Majah)
dan diriwayatkan dari Ibn Abi Syaibah, bahwasanya :
قَدِمَ
جَرِيْرٌ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ : هَلْ يُـنَاحُ فَبْلَكُمْ عَلَى
الْمَيِّتِ ؟ قَالَ : لاَ، فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عِنْدَكُمْ عَلَى
الْمَيِّتِ وَ يُطْعِمُ الطَّعَامَ ؟ قَالَ : نََعَمْ، فَقَالَ : تِلْكَ
النِّيَاحَةُ
“Shahabat Jarirt mendatangi shahabat Umar, lalu Umart
berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit?” Jarir
menjawab:”Tidak”, Umar Berkata : “Apakah ada diantara wanita-wanita
kali-an semua, suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan
hidangan-nya?” Jarir menjawab : “Ya” Umar berkata : “Hal demikan itu
adalah sama dengan niyahah”
Berkata Said bin Jubair t :
ثَلاَثَةٌ
مِنْ عَمَلِِ الْجَاهِلِيَّةِ اَلنِّيَاحَةُ وَ الطَّعَامُ عَلَى
الْمَيِّتِ وَ بَيْتُوْتةُ الْمَرْأَةِ ثَمَّ أَهْلَ الْمَيَّتِ لَيْسَتْ
مِنْهُمْ
“Tiga bagian yang merupakan perbuatan orang-orang jahiliyah, yaitu niyahah, hidangan dari keluarga mayit dan me-nginapnya para wanita di rumah keluarga mayit”
Dan
adapun dalil ‘aqli tentang pelarangan acara tersebut adalah
bahwasanya, hu-kum asal manusia di dalam agama Islam yaitu hendak
menghilangkan atau meng-hindari pembebanan, hal ini sesuai de-ngan inti
muatan pesan Rasulullah r :
) إِنَّ هَذَا الدِّينَ يُسْرٌ ( رواه النسائي
“Sesungguhnya Agama ini (Islam) adalah mudah” (HR. An Nasa’ai)
Acara perjamuan tahlilan haruslah ditolak dan tidak boleh dilaksanakan
karena di dalamnya terdapat unsur memberatkan kepada pihak keluarga
mayit dan me-ngandung akses negatif yang tidak jarang acara tersebut
pada akhirnya menimbulkan konflik di antara anggota keluarga mayit yang
diakibatkan karena masalah harta yang dipakai sebagai biaya pelaksaan
acara tersebut.
Berkata Imam An Nawawi rahimahullah :
“Adapun
penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut adalah tidak ada dalil naqli-nya dan hal
tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan” (Lihat: Al Majmu 5:186)
Kesimpulan
Setelah
kita perhatikan bersama, dari penjelasan di atas. Ternyata pendapat
yang menolak/ melarang acara perjamu-an tahlilan-lah yang memiliki
argumen yang kuat ; baik dari segi naqli maupun ‘aqli. Dengan demikian
kesimpulan me-ngenai hukum dari acara perjamuan tahlilan adalah
merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai oleh agama. Rasulullah r bersabda :
) كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ ( رواه النسائي
“Semua bid’ah adalah sesat dan semua kesesatan tempatnya di Neraka” (HR. An Nasa’ai)
Dan memang kesan dari acara perjamu-an tahlilan tersebut justru bertentangan dengan pesan Rasulullah r :
) اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ (رواه أبو داود
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyibukkan” (HR. Abu Daud)
sumber : http://www.imranxrhia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar