PERBEDAAN ANTARA WALI ALLAH DENGAN WALI SETAN
Mendengar
kata wali, akan segera terbayang dalam benak kita sosok manusia luar
biasa, ajaib, dan sakti. Itulah pemahaman umum masyarakat kita terhadap
sosok seorang wali. Tak heran, seorang ulama atau kyai, meski sering
bertingkah aneh, suka nyeleneh, pun dinobatkan sebagai wali.
Mestinya,
keadaan ini tidak terjadi bila masyarakat paham bahwa tidak semua orang
yang dianggap sebagai wali adalah betul-betul seorang wali. Sebaliknya,
bisa jadi dia adalah wali setan.
Siapa Wali Allah?
Istilah
wali menurut Ahlusunnah wal Jamaah adalah setiap mukmin yang bertakwa
dan selain nabi. Jadi, siapa saja yang beriman dan bertakwa kepada
Allah Subhaanahu Wata’ala adalah wali. Karena derajat keimanan dan
ketakwaan bertingkat-tingkat, maka derajat kewalian—yaitu kecintaan dan
pertolongan Allah pada hamba-Nya—juga bertingkat-tingkat. Yang dimaksud
dengan wali adalah orang yang senantiasa menyempurnakan keimanan dan
ketakwaan sesuai dengan kemampuannya, serta sebagian besar kondisinya
berada dalam keimanan dan ketakwaan. Hal ini berdasarkan firman Allah
Azza Wajalla, artinya,
“Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekuatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman
dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63).
Allah menyebutkan bahwa wali-Nya adalah orang yang beriman dan bertakwa.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Wali Allah hanyalah orang yang beriman
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beriman dengan apa yang
dibawanya, dan mengikuti secara lahir dan batin. Barangsiapa yang
mengaku mencintai Allah dan wali-Nya, namun tidak mengikuti beliau, maka
tidak termasuk wali Allah. Bahkan jika dia menyelisihinya, maka
termasuk musuh Allah dan wali setan. Allah Ta’ala berfirman,
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (QS. Ali Imran:
31).
Hasan Al Bashri berkata, “Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka.”
Allah
menjelaskan dalam ayat tersebut, barangsiapa mengikuti Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka Allah akan mencintainya. Namun siapa
yang mengklaim mencintai-Nya tapi tidak mengikuti beliau Shallallahu
‘Alaihi Wasallam maka bukan termasuk wali Allah. Walaupun banyak orang
menyangka dirinya atau selainnya sebagai wali Allah, tetapi kenyataannya
mereka bukanlah wali-Nya.
K.H.
Hasyim Al Asy'ari—rahimahullah—(tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, NU)
berkata, "Barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah tanpa mengikuti
sunnah, maka pengakuannya adalah kebohongan." (Ad Durar Al Muntasirah,
hal. 4).
Maka
keliru, pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat ini, bahwa
wali itu identik dengan ulama atau kyai yang memiliki keajaiban dan ilmu
yang aneh-aneh. Meskipun dia adalah seorang kyai yang banyak
meninggalkan kewajiban syariat, pernyataannya sering merugikan dan
menyakiti umat Islam, mengobok-obok syariat, bahkan menjadi penolong
musuh-musuh Allah, Yahudi dan Nasrani.
Karamah para Wali
Allah
Subhaanahu Wata’ala dan Rasul-Nya menerangkan, karamah memang ada pada
sebagian manusia bertakwa, baik dulu, sekarang, maupun yang akan datang,
sampai hari kiamat. Di antaranya apa yang Allah kisahkan tentang Maryam
di dalam surat Ali Imran: 37, kisah Ashhabul Kahfi dalam surat Al
Kahfi, dan kisah pemuda mukmin yang dibunuh Dajjal di akhir jaman.
Selain itu, kenyataan yang kita lihat atau dengar dari berita yang
mutawatir, karamah itu memang terjadi di jaman kita ini.
Adapun
definisi karamah adalah kejadian di luar kebiasaan yang Allah
anugerahkan kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya)
sebagai seorang nabi, tidak memiliki pendahuluan tertentu berupa doa,
bacaan, ataupun dzikir khusus, yang terjadi pada seorang hamba yang
shalih, baik dia mengetahui terjadinya (karamah tersebut) ataupun tidak,
dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan agamanya. (Syarhu Ushulil
I’tiqad, 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah, 2/298 karya Asy Syaikh
Ibnu Utsaimin—rahimahullah).
Wali, Tak Mesti Punya Karamah
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah—rahimahullah—menyatakan bahwa tidak setiap wali itu
harus memiliki karamah. Bahkan, wali Allah yang tidak memiliki karamah
bisa jadi lebih utama dari yang memilikinya. Karena itu, karamah yang
terjadi di kalangan para tabi’in, lebih banyak daripada karamah yang
terjadi di kalangan para sahabat. Padahal para sahabat lebih tinggi
derajatnya daripada para tabi’in. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa,
11/283).
Singkatnya, wali yang memiliki karamah, belum tentu lebih mulia dan utama dari wali yang tidak memiliki karamah.sumber : http://www.imranxrhia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar